Pages

Banner 468 x 60px

 

Sabtu, 18 Januari 2014

KASUS ETIKA: LOYALITAS, TAPI UNTUK SIAPA ?

0 komentar
Kasus ini menceritakan dua pedagang yakni Glen Grossmith dan Zoltan Horcsok yang memalsukan informasi dan perdagangan untuk menutupi tindakan yang disengaja oleh Mark Webb.
Glen Grossmith adalah seorang pria yang luar biasa dalam keluarganya, dia sering menjadi pelatih bagi anak-anaknya, dan juga seorang atlet yang berdedikasi dan menikmati olahraga baik individu maupun tim. Pada suatu hari, bosnya di Perusahaan Sekuritas Kanada UBS, Zoltan Horcsok memintanya membantu seorang rekan yang bernama Mark Webb, orang yang akan berbisnis dengan mereka untuk sementara. Grossmith melakukan hal itu tanpa bertanya mengapa hal tersebut diperlukan.
Review:
Kasus ini berkaitan dengan kesetiaan (loyalitas). Kesetiaan merupakan suatu nilai etika yang sangat diinginkan, dan ketidaksetiaan adalah suatu tindakan yang tidak etis dan sering melanggar hukum. Disini, Grossmith, Horcsok, dan Webb telah bersikap tidak loyal terhadap atasan (UBS) dan pembeli (klien) Kanada. Ceritanya bermula dari kemarahan Webb, seorang pedagang yang bekerja di kantor UBS di Stamford, Conn terhadap seorang klien yang telah memesan untuk membeli 120.000 saham perusahaan Phelps Dogde. Namun, setelah 6.000 saham dibeli, klien membatalkan sisanya dan pindah ke dealer investasi lainnya. Oleh karena itu, Webb sangat marah dan ingin membalas tindakan kliennya tersebut. Dia langsung membeli 10.000 saham Phelps Dodge menjadi akun utama UBS, selanjutnya ia menghubungi Mr. Horcsok untuk minta bantuan agar segera menemukan pembeli yang bersedia membeli 10.000 saham Phelps Dodge tersebut dengan cepat, karena jika tidak dia akan mendapat rmasalah. Mendengar hal tersebut, Mr. Horcsok kemudian mengatakan kepada pedagang terbaiknya yaitu Mr. Grossmith bahwa ia membutuhkan pembeli Kanada untuk membeli 10.000 saham Phelps Dodge. Tanpa mengetahui maksud dibalik permintaan Mr. Webb, Mr. Grossmith melakukan hubungan dengan klien dan meminta klien untuk membeli saham tersebut dan klien pun menyetujuinya. Mr. Horcsok kemudian berbicara dengan sekitar puluhan pedagang di kantor Toronto, dia mencoba untuk menemukan tiket perdagangan yang telah di stempel dan dia berhasil menemukannya, lalu Mr. Grossmith dengan pengetahuan Mr. Horcsok mencoret perdagangan saham yang tercatat di tiket tersebut dan merubahnya menjadi simbol Phelps Dodge. Informasi klien juga diubah untuk mencerminkan pembeli Kanada dari saham Phelps Dodge. Tidak hanya itu, Mr. Grossmith juga mengirimkan informasi perdagangan palsu kepada Mr. Webb. Dia juga menciptakan tiket elektronik yang mencerminkan perdagangan Phelps Dodge, sementara Mr. Horcsok kemudian memusnahkan tiket perdagangan yang telah diubah.
Sayangnya, kegiatan Glen Grossmith dan Zoltan Horcsok tersebut diselidiki dan akhirnya ditemukan oleh atasannya (UBS). Merekapun akhirnya dipecat pada akhir bulan Februari atas tindakan yang terjadi awal bulan itu, dan bonus 2004 mereka ditolak oleh dealer investasi. Kedua broker tersebut lalu menggugat UBS, dimana Mr. Grossmith menginginkan $1.053.000 dan Mr. Horcsok menginginkan $1.750.000 yang diklaim sebagai utang UBS terhadap mereka sebagai bonus. Keduanya mengklaim bahwa UBS berutang uang karena tindakan yang mengakibatkan mereka dipecat terjadi pada tahun 2005, bukan 2004.
Dokumen pengadilan tambahan yang diajukan oleh Mr. Grossmith juga mengatakan bahwa reputasi UBS telah “compang-camping” pada awal tahun 2005, yakni setelah penyelesaian dugaan tidak terkait dengan RS pada akhir 2004. Ia juga mengklaim bahwa UBS tidak semestinya menggunakannya untuk meningkatkan reputasinya dengan regulator”. Namun demikian, juru bicara UBS Graeme Harris mengatakan bahwa kedua orang tersebut tidak menerima bonus 2004 karena kesalahannya yang telah merusak reputasi dan bisnis UBS. Dia juga mengatakan bahwa mereka dipecat sebelum tanggal pembayaran bonus, jadi tidak berhak mendapatkan apapun. Selain itu, angka-angka yang diklaim oleh keduanya bukanlah jumlah yang semestinya diberikan kepada mereka meskipun jika mereka akan menerima bonus dari UBS.
Akhirnya, pada tanggal 18 Juli 2005, mereka mengakui kesalahannya dimana telah memalsukan informasi dan catatan untuk menutupi perdagangan yang dibuat oleh seorang rekannya yang ingin membalas dendam kepada salah satu klien yang telah membuatnya marah. Lalu Glen Grossmith, mantan pedagang di UBS, dan Zoltan Horcsok, atasannya dan juga selaku mantan kepala perdagangan penjualan ekuitas didenda masing-masing sebesar $75.000 dan $100.000. Keduanya juga harus membayar $25.000 untuk biaya Market Regulator Service Inc. (RS) sebagai bagian dari kesepakatan penyelesaian yang telah disetujui.
Kedua pedagang senior tersebut telah diskors dari perdagangan di Pasar Ekuitas Kanada untuk tiga bulan ke depan, setelah itu mereka harus benar-benar diawasi selama 6 bulan. Mr. Horcsok juga dilarang bertindak sebagai pengawas selama setahun setelah larangan perdagangan tiga bulan tersebut. Pengacara keduanya mengatakan bahwa keduanya telah menyesali tindakan yang telah mereka lakukan. Mereka telah menanggung konsekuensi kehilangan pekerjaan dan juga bonus untuk tahun 2004.
Dilihat dari kasus ini, meskipun tindakan Grossmith tidak berpengaruh negatif terhadap kekayaan klien, UBS tetap memecatnya. Hal ini merupakan suatu cara yang dilakukan UBS untuk mengembangkan budaya etis di dalam perusahaannya. Belajar dari pengalaman, Mr. Grossmith telah beberapa kali melakukan kesalahan yang merupakan pelanggaran kebijakan dan kode etik perusahaan. Salah satunya pada tahun 2000, Mr. Grossmith didenda $35.000 dan diskors selama satu bulan oleh Bursa Efek Toronto untuk beberapa perdagangan besar yang ia tangani. Kali ini, dia memalsukan informasi dan perdagangan saham Phelps Dodge untuk menutupi tindakan yang disengaja oleh Mark Webb. Hal ini jelas melanggar etika sehingga dapat membahayakan reputasi dan bisnis perusahaan (UBS). Jika Mr. Grossmith dipertahankan atau tidak dipecat, bisa saja keberadaannya akan membawa pengaruh buruk bagi karyawan lain, dan tidak menutup kemungkinan Mr. Grossmith akan mengulang kesalahannya seperti yang telah ia lakukan beberapa kali sebelum tindakan ini terjadi.
Menanggapi hal buruk yang telah terjadi dan kemungkinan akan terjadi, UBS harus melakukan perubahan tata kelola dan akuntabilitas perusahaan untuk mendorong loyalitas karyawannya. Lingkungan bisnis yang semakin kompleks menuntut perusahaan untuk menggunakan sistem tata kelola perusahaan yang menyediakan aturan serta akuntabilitas yang tepat untuk kepentingan pemegang saham dan semua pemangku kepentingan lainnya. UBS harus mengembangkan sistem tersebut untuk memulihkan kembali kepercayaan klien dan memfokuskan kembali tata kelola perusahaan pada tanggung jawab semua pihak dalam perusahaan terhadap semua kewajiban-kewajibannya. Segala ancaman yang terkait dengan penerapan tata kelola dan akuntabilitas tersebut harus segera diatasi, perusahaan harus membuat suatu pedoman yang jelas untuk mengidentifikasi dan mengatasi ancaman-ancaman yang menghampiri perusahaannya seperti salah mengartikan tugas dan kewajiban fidusia, kegagalan dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko etika, terjadi konflik kepentingan, dan lain-lain.
Hal terpenting yang harus dilakukan UBS adalah mengembangkan, menerapkan, dan mengelola budaya perusahaan secara etis, mengembangkan kode etik perusahaan, serta membangun, membina, melaksanakan, dan memantau budaya perusahaan yang diharapkan. Direksi, pemilik, manajemen senior, dan karyawan semuanya harus memahami bahwa suatu organisasi akan lebih bernilai jika mempertimbangkan kepentingan seluruh pemangku kepentingannya, dan dalam membuat keputusan mempertimbangkan nilai-nilai etika yang tepat. UBS harus cermat dalam mengatur bisnis dan risiko etika perusahaannya. Mereka harus memastikan bahwa budaya etis telah berjalan efektif dalam perusahaan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan kode etik sehingga dapat menciptakan pemahaman yang tepat mengenai perilaku-perilaku etis, memperkuat perilaku-perilaku tersebut, dan memastikan bahwa nilai-nilai yang mendasarinya melekat pada strategi dan operasi perusahaan. Kode etik juga menuntut karyawan dan pimpinan perusahaan untuk melakukan praktik-praktik etika bisnis terbaik dalam semua hal yang dilakukan atas nama perusahaan. Jika prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan, maka seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar UBS dapat mengembangkan efektivitas sistem pengendalian internalnya, sehingga hal-hal yang melanggar kode etik tidak lagi terjadi di perusahaan dan juga dapat memotivasi karyawan untuk bersikap lebih etis dalam menanggapi segala hal yang terjadi. Transparansi dan akuntabilitas sangat diperlukan didalam perusahaan. Jika UBS bisa fokus sepenuhnya terhadap pengembangan dan pemeliharaan budaya integritas di dalam perusahaannya, artinya perusahaan mampu menerapkan sistem tata kelola yang beretika dan juga akuntabilitas yang tepat, mereka tidak hanya akan mengurangi risiko terjadinya hal-hal yang merugikan perusahaan, tapi juga akan mendapat dukungan dan keuntungan kompetitif dari semua pemangku kepentingan perusahaan, artinya mereka dapat memuaskan harapan seluruh pemangku kepentingannya.
Read more...

Review of Chapter 5 - TATA KELOLA ETIS DAN AKUNTABILITAS PERUSAHAAN

0 komentar
Pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya menaruh harapan besar terhadap bisnis, direksi, eksekutif, dan akuntan profesional tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mereka melakukannya. Pada saat yang sama, lingkungan tempat bisnis beroperasi semakin kompleks sehingga hal tersebut menjadi tantangan etika bagi mereka. Jika mereka sampai melakukan tindakan yang melanggar etika, maka hal tersebut dapat menimbulkan risiko yang besar dan akan berpengaruh buruk bagi reputasi dan pencapaian tujuan perusahaan secara keseluruhan. Jadi, sangat dibutuhkan sistem tata kelola perusahaan yang menyediakan aturan serta akuntabilitas yang tepat untuk kepentingan pemegang saham dan semua pemangku kepentingan lainnya.
Kerangka Tata Kelola dan Akuntabilitas Modern untuk Pemegang Saham dan Para Pemangku Kepentingan Lainnya.
Kasus pelanggaran etika yang berujung pada kegagalan bisnis, audit, dan tata kelola perusahaan berskala besar seperti Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika. Hal ini merupakan suatu bencana besar di lingkungan bisnis, dan telah menjadi pemicu harapan baru dalam tata kelola dan akuntabilitas perusahaan. Menyikapi hal tersebut, para politisi Amerika menciptakan kerangka tata kelola dan akuntabilitas baru yang dikenal dengan Sarbanes-Oxley Act (SOX) yang bertujuan untuk memulihkan kembali kepercayaan investor dan memfokuskan kembali tata kelola perusahaan pada tanggung jawab direksi terhadap kewajiban fidusia mereka, yakni  tanggung jawab terhadap kepentingan pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya.
Ancaman Bagi Tata Kelola dan Akuntabilitas yang Baik
Dalam menanggapi ancaman-ancaman yang terkait dengan tata kelola dan akuntabilitas yang baik, maka suatu pedoman yang jelas sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan mengatasi ancaman-ancaman tersebut. Tiga ancaman yang signifikan meliputi:
·      Salah mengartikan tujuan dan kewajiban fidusia.
Misalnya pada kasus Enron, banyak direksi dan karyawannya percaya bahwa tujuan perusahaan terpenuhi dengan baik oleh tindakan-tindakan yang membawa keuntungan jangka pendek, sehingga perusahaan melakukan manipulasi untuk memperoleh keuntungan tersebut yang ternyata berujung pada kehancuran perusahan tersebut.

·      Kegagalan dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko etika.
Seiring dengan meningkatnya kompleksitas, volatilitas, dan risiko yang melekat pada kepentingan dan operasi perusahaan, maka risiko harus dapat diidentifikasi, dinilai, dan dikelola dengan hati-hati. Prinsipnya yaitu, risiko etika terjadi ketika terdapat kemungkinan harapan stakeholder tidak terpenuhi. Menemukan dan memperbaikinya adalah sangat penting untuk menghindari krisis atau kehilangan dukungan dari para pemangku kepentingan. Hal itu dapat dilakukan dengan menetapkan tanggung jawab, mengembangkan proses tahunan, dan tinjauan dari dewan organisasi.

·      Konflik Kepentingan
Seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi ketika penilaian independen seseorang menjadi goyah, atau ada kemungkinan goyah dalam membuat keputusan terkait dengan kepentingan terbaik lainnya yang bergantung pada penilaian tersebut. Hal ini bisa saja terjadi karena karyawan dan pimpinan perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki kepentingan pribadi dalam mengambil suatu keputusan yang seharusnya diambil secara objektif, bebas dari keragu-raguan, dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan. Konflik kepentingan ini lebih dari sekedar bias, dimana dapat diukur dan disesuaikan. Jadi karena ketidakjelasan sifat dan besarnya pegaruh, perhatian harus benar-benar diberikan pada setiap kecenderungan yang menuju kepada bias.

Elemen Kunci dari Tata Kelola Perusahaan dan Akuntabilitas
ü  Mengembangkan, Menerapkan, dan Mengelola Budaya Perusahaan Secara Etis
Direksi, pemilik, manajemen senior, dan karyawan semuanya harus memahami bahwa suatu organisasi akan lebih bernilai jika mempertimbangkan kepentingan seluruh pemangku kepentingannya, tidak hanya pemegang saham, dan dalam membuat keputusan mempertimbangkan nilai-nilai etika yang tepat. Direksi dan para eksekutif harus cermat dalam mengatur bisnis dan risiko etika perusahaannya. Mereka harus memastikan bahwa budaya etis telah berjalan dengan efektif dalam perusahaan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan kode etik sehingga dapat menciptakan pemahaman yang tepat mengenai perilaku-perilaku etis, memperkuat perilaku-perilaku tersebut, dan memastikan bahwa nilai-nilai yang mendasarinya melekat pada strategi dan operasi perusahaan. Hal-hal seperti konflik kepentingan, pelecehan seksual, dan hal-hal serupa lainnya harus segera diatasi dengan pengawasan yang memadai untuk menjaga agar budaya perusahaan tetap sejalan dengan harapan saat ini.

ü  Kode Etik Perusahaan
Kode etik dalam tingkah laku bisnis di perusahaan merupakan implementasi salah satu prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Kode etik dapat didefinisikan sebagai mekanisme struktural perusahaan yang digunakan sebagai tanda komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip etika. Mekanisme tersebut dipandang sebagai suatu cara yang efektif untuk mendukung kebiasaan etika dalam menjalankan bisnis. Kode etik menuntut karyawan dan pimpinan perusahaan untuk melakukan praktik-praktik etika bisnis terbaik dalam semua hal yang dilakukan atas nama perusahaan. Jika prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan, maka seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran kode etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

ü  Kepemimpinan Etika
Salah satu unsur penting dari tata kelola dan akuntabilitas perusahaan adalah “tone at the top” dan peran pimpinan dalam membangun, membina, melaksanakan, dan memantau budaya perusahaan yang diharapkan. Jika para pemimpin senior atau junior hanya bersuara untuk menyatakan nilai-nilai yang diinginkan di dalam perusahaan, maka karyawan akan mempertimbangkan hal tersebut sebagai suatu yang tidak patut diperhatikan. Meskipun budaya formal organisasi menetapkan nilai tersebut, namun jika tidak didukung oleh budaya informal maka hal tersebut hanya akan diangap sebagai suatu ocehan atau istilah lainnya “window dressing”.

Kewajiban Direksi dan Pekerja
Tata kelola etika dan akuntabilitas perusahaan bukan hanya sekedar bisnis yang bagus, namun merupakan suatu hukum. SOX Seksi 404 mengharuskan perusahaan meneliti efektivitas sistem pengendalian internal mereka terkait dengan pelaporan keuangan. CEO, CFO, dan auditor harus melaporkan dan menyatakan efektivitas tersebut. Pendekatan COSO terkait dengan sistem pengendalian internal menjelaskan bagaimana cara suatu perusahaan mencapai tujuannnya melalui 4 dimensi, yaitu strategi, operasi, pelaporan, dan kepatuhan. Melalui 4 dimensi tersebut, kerangka manajemen etika melibatkan 8 unsur yang saling terkait mengenai cara manajemen menjalankan perusahaan dan bagaimana mereka terintegrasi dengan proses manajemen yang meliputi lingkungan internal, penetapan tujuan, identifikasi kejadian, penilaian risiko, tanggapan terhadap risiko, aktivitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan pemantauan (monitoring).
Etika dan budaya etis perusahaan memainkan peran penting dalam penetapan pengendalian lingkungan, dan juga dalam menciptakan manajemen risiko etika yang efektif yang berorientasi pada sistem pengendalian internal dan perilaku yang dihasilkan. Oleh karena itu,  hal tersebut dapat menentukan “tone at the top”, kode etik, kepedulian pegawai, tekanan untuk memperoleh tujuan yang tidak realistis, kesediaan manajemen untuk mengabaikan pengendalian, kepatuhan dalam penilaian kinerja, pemantauan terhadap efektivitas pengendalian internal, program “whistle-blowing”, dan tindakan perbaikan dalam menanggapi pelanggaran kode etik.

Tolak Ukur Akuntabilitas Publik
Salah satu perkembangan terkini yang perlu dipertimbangkan oleh dewan direksi dan manajemen ketika mengembangkan nilai-nilai, kebijakan, dan prinsip-prinsip yang mendasari budaya perusahaan dan tindakan karyawan mereka adalah gelombang baru dalam pengawasan pemangku kepentingan dan kebutuhan untuk transparansi dan akuntabilitas publik. Jika direksi mampu mengenali dan mempersiapkan perusahaan mereka di era baru dimana akan berhadapan dengan akuntabilitas para pemangku kepentingan yang efektif dan juga sistem tata kelola yang beretika, mereka tidak hanya akan mengurangi risiko, tapi juga akan menghasilkan keuntungan kompetitif dari perlanggan, karyawan, mitra, lingkungan, dan para stakeholder lainnya yang tentunya menarik bagi pemegang saham. Intinya, direksi, eksekutif, dan akuntan profesional harus fokus sepenuhnya terhadap pengembangan dan pemeliharaan budaya integritas jika mereka ingin memuaskan harapan seluruh pemangku kepentingannya.
Read more...

Sabtu, 21 Desember 2013

Review of Chapter 2 - Ethics and Governance Scandals

0 komentar
Sejalan dengan bab 1, bab 2 masih merupakan bagian dari lingkungan etika (ethics environment). Tujuan dari kedua bab ini yaitu untuk menanggulangi masalah-masalah yang terjadi akibat kurangnya kesadaran terhadap etika dalam menanggapi tantangan yang ada yang ditandai dengan meningkatnya kompleksitas masalah-masalah etika bisnis dan profesi.
Bab ini memaparkan tentang perubahan besar yang terkait dengan kesadaran terhadap pelanggaran etika dan juga pada kinerja etika yang diharapkan yang berkenaan dengan etika dan skandal-skandal tata kelola mulai dari tahun 1929 hingga saat ini. Perkembangan, tren, dan tahapan penting yang diidentifikasi meliputi:
1.      Kurangnya kredibilitas yang dihasilkan oleh kasus Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom menyebabkan dikeluarkannya Sarbanes-Oxley Act dan pernyataan U.S. Securities and Exchange Commission yang merombak tata kelola perusahaan dan profesi akuntansi.
2.      Krisis pinjaman subprime yang menghasilkan pembatasan tata kelola pada Wall Street dan bank investasi.
Bab ini dimaksudkan untuk memberikan pandangan terkini tentang perubahan yang diharapkan dari perilaku etika bagi direktur, eksekutif, manager, dan akuntan profesional. Secara garis besar, yang dibahas adalah tentang kronologi etika dan tata kelola dari waktu ke waktu, etika dan skandal-skandal tata kelola yang penting, dan tanda-tanda keruntuhan etika.

Ø KRONOLOGI ETIKA DAN TATA KELOLA DARI WAKTU KE WAKTU
Sampai saat ini, telah banyak skandal dan kegagalan beberapa perusahaan besar dan terkenal disebabkan oleh pelanggaran etika. Perubahan tata kelola dan tren yang dihasilkan oleh skandal-skandal tersebut harus dianalisis sedemikian rupa. Jika diperhatikan, perubahan rekam jejak tiap skandal dari setiap periode itu tetaplah sama, yakni:
·      Masing-masing skandal telah membuat publik kesal dan membuat mereka semakin sadar akan pentingnya peningkatan sikap professional dari setiap personil perusahaan.
·      Dengan masing-masing tambahan skandal, kesadaran dan sensitivitas publik terhadap bagian sandar perilaku telah semakin tumbuh, sedangkan tingkat toleransi publik telah berkurang.
·      Kredibilitas dari janji dan laporan keuangan perusahaan telah terkikis.
·      Anggota parlemen, regulator, direksi, dan badan-badan profesional telah merespon untuk mengembalikan kepercayaan diri pada sistem tata kelola perusahaan.

Ø ETIKA DAN SKANDAL-SKANDAL TATA KELOLA YANG PENTING
Kegagalan dewan direksi, manajemen, dan akuntan untuk memastikan bahwa bisnis dan profesi akuntansi bermain pada kepentingan terbaik dari shareholders, stakeholders, dan masyarakat ditelusuri melalui beberapa skandal dan reaksi sebagai berikut:

*   Enron
Enron didirikan oleh Ken Lay  pada tahun 1985 dari hasil merger dua perusahaan gas alam yang dikombinasikan dengan sistem perpipaan. Pada awal tahun 2000, Enron adalah perusahaan terbesar ke-9 di Amerika, namun pada tahun 2001 Enron bangkrut, tepatnya tanggal 2 Desember 2001. Hal ini dikarenakan berbagai pelanggaran praktik bisnis tidak sehat yang dilakukan dan keluar dari prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Dalam kasus ini perusahaan melakukan manipulasi untuk keuntungan jangka pendek yang ternyata berakibat fatal bagi perusahaan sendiri. Tindakan nya tersebut membuat Enron menuai suatu kehancuran dengan meninggalkan utang milyaran dolar dan menyisakan implikasi negatif bagi banyak pihak, terutama dua belas ribu pekerja yang kehilangan pekerjaan, pensiun, serta tabungan mereka yang telah diinvestasikan dalam bentuk saham Enron. Selain itu, pemegang saham lainnya juga kehilangan $70 milyar ketika nilai saham menjadi nol.

*   Arthur Andersen
Arthur Andersen adalah sebuah perusahaan jasa akuntansi yang didirikan oleh Arthur Andersen pada tahun 1913 dan berbasis di Chicago. KAP ini termasuk ke dalam kelompok “The big-5” yang terbentuk sejak bulan juli 1998. KAP ini melakukan audit pada perusahaan-perusahaan raksasa seperti Enron, Merck, WorldCom, KPNQwesr, dan sejumlah perusahaan besar lainnya. Selain itu, Arthur Andersen juga menjalankan bisnis jasa assurance.
Salah satu pelanggaran terbesar yang dilakukan oleh KAP Arthur Andersen adalah memanipulasi pembukuan perusahaan Enron sehingga laporan keuangan perusahaan tersebut dapat dinyatakan wajar tanpa pengecualian. Arthur Andersen juga berperan sebagai auditor merangkap konsultan manajemen dan bayaran yang diterima adalah ganda.
KAP ini telah mengaudit Enron sejak 1985 dan selalu memberikan pendapat wajar tanpa syarat sampai tahun 2000. Hal yang paling mengejutkan adalah perusahaan Enron dinyatakan pailit pada 2 Desember 2001. Kebangkrutan Enron menyeret akuntan publik Arthur Andersen karena memanipulasi labanya. Jadi pada tahun 2001, KAP ini harus membayar $32 Milyar sehingga perusahaan ini tidak bisa lagi diselamatkan.

*   WorldCom
WorldCom adalah perusahaan penyedia layanan telepon jarak jauh. Selama tahun 1990-an, perusahaan ini melakukan beberapa akuisisi terhadap perusahaan telekomunikasi lain, namun akuisisi yang besar terjadi pada tahun 1998 saat WorldCom mengambil alih perusahaan MCI yaitu perusahaan kedua terbesar di Amerika yang bergerak di bidang telekomunikasi jarak jauh yang mengukuhkan posisi WorldCom menjadi operatoe ni. 1 dalam infrastruktur internet.
Pada kasus WorldCom, perusahaan membukukan lebih dari $3,8 Milyar beban operasional sebagai pengeluaran modal. Dengan begini, WorldCom mampu menaikkan pendapatan atau laba. Selain itu, WorldCom juga menggunakan akun cadangan secara tidak benar untuk mengantisipasi kejadian-kejadian luar biasa yang tidak dapat diprediksi, misalnya utang pajak tahun depan. Seharusnya akun ini tidak boleh dimanipulasi untuk memperoleh pendapatan. Praktik tidak sehat tersebut telah menyebabkan kehancuran yang luar biasa pada perusahaan, terlebih lagi didukung oleh tindakan KAP Arthur Andersen yang membiarkan praktik tersebut.

*   Sarbanes-Oxley Act (SOX)
Banyak faktor seperti kegagalan bisnis, audit, dan tata kelola perusahaan berskala besar (misalnya Enron, WorldCom, Crossing, Adelphia) yang melakukan kecurangan pada laporan keuangannya telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor di perusahaan-perusahaan Amerika. Beberapa insiatif telah diambil untuk mengatasi penggunaan praktik akuntansi yang agresif oleh perusahaan-perusahaan publik. Salah satunya ada Sarbanes-Oxley Act (SOX) yang ditandatangani pada tanggal 30 Juli 2002 yang bertujuan untuk memperkuat akuntabilitas perusahaan dan membangun kembali kepercayaan investor terhadap laporan keuangan publik. SOX dirancang untuk:
ü   Membangun struktur peraturan independen untuk profesi akuntansi.
ü   Menetapkan standat yang tinggi dan prinsip-prinsip baru untuk tata kelola perusahaan.
ü   Meningkatkan kualitas dan transparansi laporan keuangan.
ü   Meningkatkan objektivitas dan kredibilitas fungsi audit dan memberdayakan komite audit.
ü   Membuat solusi perdata dan pidana yang lebih berat atas pelanggaran undang-undang sekuritas federal.
ü   Meningkatkan independensi analis sekuritas.
Selain itu, SEC juga mengeluarkan beberapa aturan seperti sertifikasi CEO dan CFO terhadap laporan keuangan, mengungkapkan pengendalian dan prosedur, dan etika bagi eksekutif auditor independen senior perusahaan untuk melaksanakan ketentuan SOX.

*   Tax Shelters
Praktisi pajak disewa untuk memberikan saran kepada klien tentang bagaimana membayar jumlah pajak yang kecil. Terkadang, para akuntan terlalu agresif dalam merancang strategi pajak. Hal ini seperti yang terjadi pada Ernst & Young dan KPMG. Mereka merekomendasikan klien mereka untuk berinvestasi pada tempat perlindungan pajak (tax shelters) yang dinilai illegal. Mereka tidak lagi melindungi kepentingan publik ketika mulai menjual perlindungan pajak yang sangat mahal kepada pihak yang sangat kaya. Pemerintah sangat marah dengan tindakan mengerikan tersebut dan kemudian kedua kemitraan tersebut didenda dan ditetapkanlah Circular 230.

*   Circular 230
Terkait dengan kasus perlindungan pajak (tex shelters) yang dilakukan oleh E&Y dan KPMG, Internal Revenue Service (IRS) kemudian menerapkan Circular 230 yang mengatur dan menyarankan praktik terbaik untuk profesional pajak. Aturan dasarnya yaitu mengenali klien dengan baik, melayani kebutuhan klien, menjelaskan dan menjelaskan secara penuh, dan strategi yang diusulkan tersebut cenderung berhasil. Secara keseluruhan, profesional pajak perlu mengetahui klien dan membuat usulan perencanaan pajak yang masuk akal dan sesuai dengan hukun dan persyaratan klien.

*   Subprime Mortgage Meltdown
Secara tradisional, bank komersial menjamin uang dari deposan lalu meminjamkan uang tersebut kepada pemilik rumah dengan jaminan hipotik pada properti tersebut. Disisi lain, bank investasi membantu klien (perusahaan) dalam meningkatkan dana modal (capital funds) melalui penjaminan, merger dan akuisisi, dan perdagangan instrumen keuangan. Pada tahun 1999, Gramm-Leach-Bliley Act mencabut Glass-Steagall Act (1993). Bank komersial diizinkan terlibat dalam aktivitas investasi. Salah satu kegiatannya yaitu meminjam uang pada tingkat yang rendah dengan mengeluarkan surat berharga jangka pendek dan jangka menengah dan kemudian peminjaman tersebut dilakukan melalui investasi hipotik dengan tingkat bunga yang lebih tinggi. Hal ini disebut dengan Structures Investment Vehicles (SIVs), dimana mengijinkan bank memperoleh uang melalui penyebaran antara dua tingkat bunga.
Kebanyakan kasus investasi hipotik menunjukkan sikap keserakahan. Ada banyak uang yang dispekulasikan pada sekuritas hipotik, namun risikonya tidak dinilai secara hati-hati sehingga pada saat pasar Amerika runtuh (2008), nilai dari sekuritas yang berhubunganpun jatuh, dan pemerintah di dunia harus  menyediakan dana talangan untuk mencegah krisis global.

*   Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act
Pada bulan Juli 2010, hasil dari krisis investasi hipotik, kongres Amerika menetapkan Dodd-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act. Tujuannya secara keseluruhan adalah untuk menyediakan stabilitas keuangan dan meningkatkan perlindungan konsumen dengan memaksakan peraturan yang lebih pada pasar investasi, dan juga pembatasan lebih lanjut pada kegiatan organisasi yang beroperasi di pasar jasa keuangan. Hanya waktu yang akan menjawab apakah tindakan ini dapat mencegah krisis ekonomi serupa di masa yang akan datang.

*   Bernard Madoff
Bernard Madoff adalah seorang pebisnis yang mempraktikkan skema Ponzi, yaitu sebuah skema piramida investasi ilegal. Skema ini dimulai oleh Carlo Ponzi (1882-1949) yang merujuk pada arisan berantai, dimana investor pertama dijanjikan dan diberi keuntungan yang berlipat ganda dalam waktu yang singkat dengan memakan uang masuk dari investor baru. Dengan praktik yang dijalankannya itu, Bernarl Madoff telah berhasil menipu para investor milyaran dolar. Tindakan illegal tersebut akhirnya terbongkar dan pada tanggal 11 Desember 2008, Madoff ditangkap dan didakwa dengan kasus penipuan. Pada tahun 2009, Bernald Madoof yang telah berusia 71 tahun dikirim ke penjara selama 150 tahun. Investor harus benar-benar mengingat hal ini jika dikemudian hari ada perusahaan yang menawarkan return yang terlalu tinggi untuk diwujudkan.

Ø TANDA-TANDA KERUNTUHAN ETIKA
Menurut Marianne Jennings dalam bukunya “The Seven Signs of Ethical Collapse: How to Spot Meltdowns in Companies”, ada 7 penyebab permasalahan etika di dalam organisasi:
1)        Tekanan untuk mencapai tujuan, khususnya pada bidang keuangan dengan cara apapun.
2)        Budaya yang tidak mendorong adanya percakapan dan diskusi yang terbuka dan apa adanya.
3)        CEO yang dikelilingi oleh orang-orang yang sependapat dengannya, dimana CEO memiliki reputasi yang kritis.
4)        Dewan direksi yang lemah tidak menjalankan kewajiban fidusianya dengan tekun.
5)        Organisasi yang mempromosikan orang dengan dasar nepotisme dan bias atau pilih kasih.
6)        Keangkuhan, yaitu suatu keyakinan yang angkuh dengan menganggap bahwa peraturan dibuat hanya untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri.
7)        Perilaku kecatatan biaya/manfaat yang menunjukkan bahwa perilaku etika yang buruk pada suatu area dapat ditutup dengan perilaku etika yang baik pada area lain.


Read more...

Sabtu, 14 Desember 2013

RAKOR DINKES ACEH "TERNODA"

0 komentar
Kasus pemotongan uang saku peserta sebesar Rp 500.000 per peserta dan pemangkasan durasi kegiatan Rakor Dinkes Aceh dari tiga hari menjadi satu hari merupakan suatu bukti buruknya pelaksanaan suatu program kegiatan. Hal ini secara otomatis menunjukkan bahwa perencanaan dan pembangunan di Aceh masih sangat memprihatinkan. Kasus tersebut jelas menunjukkan bahwa selama ini model perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi kegiatan tidak dilakukan dengan standar yang benar. Begitu pula dengan model penganggarannya yang tidak transparan, tidak rasional, dan hanya menguntungkan beberapa pihak yang saling bekerja sama.
Menurut saya, tindakan pemotongan uang saku peserta yang dilakukan oleh Dinkes Aceh tersebut tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. Hal ini jelas melanggar aturan, apalagi kegiatan Rakor tersebut telah dianggarkan dalam APBA. Jadi apapun tujuannya, baik itu untuk alasan administrasi atau tujuan lainnya yang dimaksudkan demi kelancaran kegiatan, sangat tidak dibenarkan untuk memotong dana yang telah ditetapkan tersebut. Walaupun pada kenyataannya dana yang telah dianggarkan tidak memadai, masih banyak cara lain yang bisa disiasati tanpa harus melakukan tindakan yang melanggar hak. Pihak penyelenggara bisa saja mengurangi jumlah peserta atau kegiatannya dapat diselenggarakan di Aula Dinkes tanpa harus menyewa Aula Asrama Haji. Hal itu lebih bisa menghemat dana jika memang alasan pemotongan tersebut karena kekurangan dana, dan tidak ada pihak yang terdzalimi.
Meskipun demikian, sampai saat ini belum diketahui motif sebenarnya dari pemotongan tersebut. Bisa saja hal ini adalah modus yang dilakukan untuk meraup keuntungan. Oleh karena itu, hal ini tidak boleh didiamkan dan jangan sampai kasus-kasus seperti ini dilegalkan dengan dalih peserta setuju-setuju saja dengan pemotongan tersebut. Mungkin pada saat itu para peserta setuju saja karena pihak penyelenggara mengatakan bahwa pemotongan tersebut adalah bentuk partisipiasi dari peserta (dana sharing), namun apakah kita mengetahui keikhlasan para peserta tersebut karena uang sakunya dipotong hingga Rp 500.000 per orang? Saya yakin jika semua peserta ikhlas, tidak mungkin berita ini sampai kepada wartawan. Hal ini jelas membuktikan kekecewaan para peserta terhadap tindakan pihak penyelenggara kegiatan tersebut.
Harapan saya dan juga mungkin harapan masyarakat Aceh, kasus seperti ini benar-benar harus diusut sampai tuntas. Penyelidikan harus terus dilakukan untuk menyelidiki mengapa kasus ini bisa terjadi. Apakah benar seperti yang ditanggapi oleh Kasi Promosi Kesehatan Dinkes Aceh itu sendiri atau ada motif lain dibelakangnya. Yang mengherankan disini, jika memang benar mekanisme APBA tidak memisahkan alokasi dana untuk konsumsi, penyelenggaraan, dan penginapan peserta sehingga kekurangan dana harus dipotong dari uang saku peserta, mengapa baru di Dinkes pesertanya mengeluhkan pemotongan tersebut? Hal ini juga patut diselidiki kebenarannya. Para penegak hukum harus menindak dengan tegas jika memang tindakan tersebut terbukti melawan hukum. Kita semua berharap agar kasus-kasus yang melanggar hukum seperti ini tidak lagi terjadi dikemudian hari.
Read more...

Review of Chapter 1 - Ethics Expectations

0 komentar
Bab ini membahas perubahan-perubahan terkait tren etika yang telah dibawa ke dalam kerangka kerja yang diharapkan serta perkembangan yang muncul dalam menanggapi perubahan-perubahan tersebut. Selain itu, implikasinya bagi akuntan profesional juga dipertimbangkan. Ruang lingkup bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang masalah etika yang dihadapi oleh profesi akuntansi sebagai akibat dari skandal akuntansi yang baru-baru ini telah sangat berdampak pada pelaporan keuangan dan proses audit perusahaan publik.
Konsep fungsi bisnis dan profesi tercipta berdasarkan harapan publik. Beberapa skandal seperti Enron, Arthur Andersen dan WorldCom telah memicu perubahan besar pada harapan baru tata kelola bisnis dan profesi akuntansi di seluruh dunia. Beberapa skandal lainnya juga telah memperkuat kebutuhan akan standar baru dan telah mendorong harapan untuk tingkat yang lebih tinggi. Jadi tidak heran jika harapan etika didasarkan pada percepatan tren etika bisnis dan profesi, yang hasilnya etika bisnis dan profesi telah menjadi penentu utama keberhasilan perusahan dan pribadi serta menjadi fokus dalam penelitian dan perubahan perusahaan.
Lingkungan Etika Untuk Bisnis: Perjuangan Untuk Kredibilitass, Reputasi, dan Keuntungan Kompetitif
Ada banyak faktor yang menyebabkan munculnya berbagai kelompok pemangku kepentingan dan faktor-faktor tersebut tentunya berperan dalam proses tata kelola perusahaan (corporate governance). Penekanan pada proses tata kelola perusahaan yang berorientasi kelompok pemangku kepentingan menunjukkan bahwa sekarang ini manajer perusahaan harus melaksanakan kewajiban fidusia kepada pihak lain selain pemegang saham utama perusahaan. Dengan demikian, kebutuhan untuk menunjukkan akuntabilitas kepada para pemangku kepentingan penting lainnya seperti kreditur, karyawan, kelompok aktivis, dan badan penetapan standar telah mengubah sifat keputusan ekonomi dan operasional perusahaan. Akuntabilitas baru bagi para pemangku kepentingan utama ini dibuktikan dengan disahkan standar baru terkait tata kelola perusahaan untuk perusahaan publik dan melalui komunikasi yang baik antara anggota dewan perusahaan dengan para penyusunnya.
Beberapa faktor yang terkait dengan tata kelola perusahaan dan akuntabilitas yang juga mempengaruhi harapan publik terhadap perilaku bisnis meliputi:
  1. Masalah lingkungan. Perusahaan harus peduli terhadap kondisi masyarakat umun, kualitas udara dan air, dan keselamatan masyarakat. Misalkan saja menciptakan solusi bagi polusi udara yang berasal dari cerobong asap, knalpot, dan berbagai permasalahan lainnya.
  2.  Sensitivitas Moral. Perusahaan harus menunjukkan keadilan dan kesetaraan dimanapun berada baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini dapat terlihat dari sikap peduli pada hak-hak sipil, hak asasi manusia, hak-hak perempuan, dan lain-lain. Tekanan publik untuk lebih adil telah menghasilkan praktik kode etik, pelatihan etika, dan implementaasi kerangka pertanggungjawaban.
  3. Penilaian buruk oleh direksi, eksekutif, dan manager. Hal ini dapat dikatakan sebagai tantangan publik kepada pihak manajemen terkait dengan kesalahan operasi, kompensasi eksekutif, manajemen laba, kegagalan bisnis, dan lain-lain.
  4. Munculnya aktivis para pemangku kepentingan. Hal ini terkait dengan etika para investor, pelanggan, aktivis lingkungan, dan lain-lain.
  5. Tekanan ekonomi. Hal ini terkait dengan kelemahan, tekanan untuk bertahan hidup, dan lain-lain.
  6. Persaingan yang merupakan tekanan secara global.
  7. Skandal keuangan (kesenjangan harapan dan kredibilitas). Sebagai contoh skandal Enron, Arthur Andersen, WorldCom, dan lain-lain. Salah satu cara yang dikukan untuk melindungi para pemangku kepentingan ditunjukkan dengan dikeluarkannya Sarbanes-Oxley Act yang memperkuat tata kelola perusahaan.
  8. Kegagalan tata kelola dan penilaian risiko. Hal ini berkaitan dengan pengakuan terhadap masalah tata kelola yang baik dan penilaian risiko etik.
  9. Peningkatan akuntabilitas dan transparansi pelaporan keuangan yang diinginkan oleh para pemangku kepentingan. Hal ini berkaitan pula dengan CSR (Corporate Social Responsibility).
  10. Sinergi antara faktor dan penguat kelembagaan. Misalnya hukum baru terkait dengan lingkungan, IFAC, IFRS, SOX, dan lain-lain.
Perubahan harapan publik terhadap perilaku yang dapat diterima telah menciptakan pergeseran yang cukup besar dalam persepsi publik terhadap perilaku perusahaan. Beberapa tren penting telah dikembangkan sebagai hasil dari tekanan ekonomi dan kompetitif yang terus berdampak pada etika perusahaan dan akuntan profesionalnya, yang meliputi:
  • Memperluas tanggung jawab hukum bagi para eksekutif dan manajer perusahaan.
  • Pernyataan manajemen kepada pemegang saham terkait dengan kecukupan pengendalian internal dan upaya untuk mengelola risiko dan melindungi reputasi perusahaan.
  • Peningkatan ketergantungan oleh manajemen terkait indikator kinerja non-keuangan.
Berdasarkan tren tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan telah mengambil peran yang lebih besar terhadap dampak nilai-nilai etika pada keberhasilan mereka.
Harapan Baru Untuk Bisnis
Seiring berjalannya waktu, harapan publik terhadap manajemen perusahaan semakin meningkat. Penekanan hanya pada laba tradisional telah memberikan cara pandang bahwa bisnis ada untuk melayani masyarakat, bukan sebaliknya.
Suatu hal yang mendasarinya yaitu penekanan pada peningkatan tata kelola perusahaan, dimana merupakan suatu kerangka kerja akuntabilitas yang mengatur hubungan antara dewan direksi perusahaan, manajemen, serta auditor internal dan eksternal dalam kepentingan terbaik dari berbagai pemangku kepentingan yang mencakup aktivis, pelanggan, karyawan, kreditur, pemasok, dan lainnya. Dewan direksi dan subkomite berada di pusat tata kelola karena mereka berinteraksi dengan berbagai kelompok pemangku kepentingan untuk menetapkan berbagai tujuan dan kebijakan, menyediakan sumber daya, dan memonitor umpan balik dari investor, kreditur, dan lain-lain. Manfaat dari hubungan tata kelola ini adalah semua pembuat keputusan yang relevan berpartisipasi dalam keputusan ekonomi yang relevan pula bagi mereka.
Menanggapi masalah yang berkaitan dengan tata kelola, berbagai standar dan peraturan baru pun ditetapkan untuk memperkuat pengembangan etika bisnis dan menetapkan standar akuntabilitas. Hasilnya secara keseluruhan publik memiliki kesadaran yang tinggi akan perlunya etika perusahaan. Pertimbangan tersebut dikembangkan untuk menciptakan ketergantungan antara perusahaan dengan investor, kreditur, dan lain-lain. Beberapa contoh peraturan dan Undang-Undang yang telah ditetapkan meliputi US Corporate Sentencing Guidelines (1991), US Foreign Corrupt Practices Act (1997), Sarbanes-Oxley Act (2002), dan lain-lain.
Efektivitas  Mandat Baru
Perubahan harapan publik telah memberikan mandat bagi perusahaan untuk meningkatkan kualitas hidup para penyusunnya. Pandangan bahwa bisnis ada untuk melayani masyarakat telah menggantikan argumen laissez-faire yang menyatakan bahwa bisnis bertanggung jawab hanya kepada investor selama mereka melaporkan keuntungan. Hal yang harus diperhatikan disini adalah keuntungan diharapkan akan meningkat seiring dengan peningkatan transparansi dan akuntabilitas perusahaan. Sekarang ini, keuntungan (laba) juga diakui sebagai ukuran kinerja perusahaan yang tidak lengkap yang dapat berakibat pada ketidakakuratan dalam alokasi sumber daya. Milton Friedman berpendapat bahwa bisnis yang tidak etis salah satunya adalah bisnis yang menguntungkan. Temuan yang konsisten dengan teori Friedman tersebut meliputi:
a)        Penelitian telah menunjukkan bahwa investor mempertimbangkan tujuan sosial ketika memutuskan untuk berinvestasi. Tujuan investasi dan tujuan sosial tersebut dapat dikorelasikan dengan harga saham.
b)       Kinerja ekonomi dari beberapa reksa dana berbasis etika (biasanya dana akuntabilitas sosial) telah melampaui indeks saham seperti S&P 500.
c)        Biaya yang berkaitan dengan eksternalitas sering terbukti signifikan. Pihak-pihak eksternal perusahaan sering kali terkena dampak dari berbagai keputusan perusahaan. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak menyertakan pihak eksternal sebagai pemangku kepentingan perusahaan.
Kerangka Tata Kelola Perusahaan
Ø  Manajemen Berdasarkan Nilai, Reputasi, dan Risiko
Tren tata kelola perusahaan mencerminkan kepuasan antara para pemangku kepentingan dengan dewan direksi perusahaan, manajer, dan penentu lainnya dari reputasi perusahaan. Perusahaan mulai mengambil minat yang besar dalam seberapa beretika kegiatan ini dikarenakan tren ini. Hal yang mendasari minat para pemangku kepentingan adalah nilai-nilai dasar yang dihormati oleh sebagian besar kelompok dan budaya di seluruh dunia (hypernorms). Faktor-faktor penentu keberhasilan (hypernorms) ini melibatkan aksi kejujuran, kasih sayang, kepastian, keadilan, integritas, dan tanggung jawab. Seperti halnya tren profesi akuntansi dalam mengupayakan perbaikan kualitas, telah dibentuk hubungan antara hypernorms (kebenaran universal) yang menunjukkan bahwa profesi telah membentuk suatu lingkatan yang utuh.
Terkait dengan risiko etika, sangat penting bagi manajemen perusahaan untuk mengantisipasi kemungkinan hasil yang tidak etis dan dampaknya terhadap para pemangku kepentingan perusahaan. Karena risiko etika sangat mempengaruhi reputasi perusahaan dan keseluruhan industri, maka perusahaan-perusahaan di Amerika telah menghabiskan jutaan rupiah untuk proses manajemen risiko tersebut.
Lingkungan Etika untuk Akuntan Profesional
Beberapa skandal akuntansi seperti kasus Enron, Arthur Andersen, dan WorldCom benar-benar telah membawa perubahan besar terkait peran dan perilaku para akuntan profesionalnya yang telah menodai kode etik mereka. Akuntan profesional berkewajiban memberikan loyalitas utama mereka untuk kepentingan umum, bukan hanya untuk kepentingan keuangan mereka sendiri, direksi dan manajemen perusahaan, atau pemegang saham saat ini dengan mengorbankan para pemegang saham di masa depan. Akuntan profesional tampak sebagai penengah akuntabilitas organisasi dan ahli dalam hal pengambilan keputusan.
Dalam profesi akuntansi, ada pergerakan menuju harmonisasi global dari serangkaian prinsip akuntansi dan auditing yang berterima umum (GAAP dan GAAS) dalam rangka memberikan analisis secara efisien bagi penyedia modal ke pasar dunia dan juga efisiensi pemeriksaan di seluruh dunia. Globalisasi pada perusahaan audit ditandai dengan berkembangnya standar audit secara global untuk melayani klien utama mereka, dan standar perilaku pendukung untuk memastikan penilaian mereka adalah independen, objektif, dan akurat. 
Read more...